Rekonstruksi Kisah Pangeran Samudro: di Tengah Mitos Ritual Seks Gunung Kemukus, Sumber Lawang, Sragen

Authors

  • Desti Widiani IAIN Surakarta
  • Jiyanto Jiyanto UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

DOI:

https://doi.org/10.31291/jlka.v17i1.632

Keywords:

Rekonstruksi, Pangeran Samudro, Mitos Ritual Seks,

Abstract

The story of Prince Samudro's tomb invites pros and cons. This arises because of the negative paradigm that developed in the community that there is trust if the wish is granted, then the visitors to Prince Samudro's grave must perform a ritual of having sex with the opposite sex but not their wife or husband 7 times in one eighty/35 days. From the negative paradigm makes the myth on Mount Kemukus an opportunity for the perpetrators of the practice of prostitution. This negative paradigm needs to be clarified so that the pilgrims are not trapped in the wrong paradigm and belief. The sex ritual at Mount Kemukus is a reality that cannot be covered. Although the Sragen Regency Government has banned the practice of such deviant behavior, the reality is that there are still ritualists who perform the sex ritual. From this reality, there needs to be an effort to straighten out the understanding of the community about the pilgrimage ritual at the tomb of Prince Samudro. One thing that can be done is by reconstructing the story of Prince Samudro so that the people know the true story about Prince Samudro. This research is a descriptive study using historical methods with the following steps: heuristics, verification, interpretation, and historiography. The research site was conducted at Gunung Kemukus, Sumber Lawang, Sragen. This study aims to (1) find out about the myths of sex rituals at Gunung Kemukus, Sumber Lawang, Sragen (2) reconstruct the true story of Prince Samudro at Gunung Kemukus, Sumber Lawang, Sragen.

Keywords: Reconstruction, Prince Samudro, Myth of Sexual Rituals

 

Kisah tentang makam Pangeran Samudro ini mengundang pro dan kontra. Hal ini muncul karena paradigma negatif yang berkembang di masyarakat bahwa adanya kepercayaan apabila ingin permohonannya terkabul, maka para pengunjung makam Pangeran Samudro harus mela­kukan suatu ritual berhubungan intim dengan lawan jenis tetapi bukan istri atau suaminya selama 7 kali dalam satu lapan/ 35 hari. Dari paradigma negatif tersebut menjadikan mitos di Gunung Kemukus menjadi peluang bagi para pelaku praktik prostitusi. Paradigma negatif ini perlu diluruskan agar para peziarah tidak terjebak dalam paradigma dan kepercayaan yang keliru. Ritual seks di Gunung Kemukus adalah kenyataan yang tidak bisa ditutupi. Meskipun Pemerintah Kabupaten Sragen sudah melarang adanya praktik perilaku menyimpang tersebut, namun realitasnya masih ada pelaku ritual yang melakukan ritual seks tersebut. Dari realitas tersebut perlu adanya upaya dalam meluruskan pemahamaman masyarakat tentang ritual ziarah di makam Pangeran Samudro. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan rekonstruksi terhadap kisah Pangeran Samudro agar masyarakat mengetahui kisah yang sebenarnya tentang Pangeran Samudro. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan metode sejarah dengan langkah-langkah sebagai berikut: heuristik, verifikasi, inter­pretasi, dan historiografi. Tempat penelitian dilaksanakan di Gunung Kemu­kus, Sumber Lawang, Sragen. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui tentang mitos ritual seks di Gunung  Kemukus, Sumber Lawang Kabupaten Sragen (2) merekonstruksi kisah yang sesungguhnya tentang Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Sumber Lawang Kabupaten Sragen.

Kata Kunci: Rekonstruksi, Pangeran Samudro, Mitos Ritual Seks

Downloads

Download data is not yet available.

References

Amin, M. Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
BBC News Inodesia. 2018. https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/11/141127_indonesia_seks_kemukus, diakses 11 Desember 2018, pukul 09.00 WIB.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Djajadi, S. 2010. Jejak Pangeran Samoedro Gunung Kemukus. Surabaya: Lancar Agung.
Dokumentasi dari Desa Pendem dan Kepala UPTD Obyek Wisata Religi Gunung Kemukus, Agustus 2018
Faisol, Abdullah dan Syamsul Bakri. 2014. Islam dan Budaya Jawa. Surakarta: Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta.
Ismawati. 2012. “Ziarah Kubur Dalam Perspektif Budaya dan Agama”, Jurnal At-Taqaddum, Volume 4, Nomor 1, Juli.
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Pustaka.
Kurzweil, Edith. 2010. Jaringan Kuasa Strukturalisme dari Levi-Strauss sampai Foucault, terj. Nurhadi dari “The Age of Structuralisme From Levi-Strauss to Foucault”. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Mujib, M. Misbahul. 2016. “Tradisi Ziarah dalam Masyarakat Jawa”, Jurnal Ibda’, Vol. 14, No. 2, Juli – Desember.
Purwadi, dkk. 2006. Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual. Jakarta: Buku Kompas.
Siregar, Parlindungan. 2017. “Tradisi Ziarah Kubur pada Makam Keramat/ Kuno Jakarta: Pendekatan Sejarah”. Prosiding Islam and Humanities (Islam and Malay Local Wisdom). Palembang: Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang.
Wadiji. 2011. Akulturasi Budaya Banjar di Banua Halat. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Widodo, Aris. 2016. Islam dan Budaya Jawa. Surakarta: Fakultas Syariah IAIN Surakarta.
Wawancara dengan AY salah satu peziarah di komplek makam Pangeran Samudro, 28 Oktober 2018
Wawancara dengan Pak Hasto, Juru Kunci Gunung Kemukus di depan makam Pangeran Samudro, 12 November 2018.
Wawancara dengan pelaku ritual AS yang berasal dari Yogyakarta, di komplek makam Pangeran Samudro pada tanggal 12 November 2018
Wawancara dengan pelaku ritual SR yang berasal dari Yogyakarta, di komplek makam Pangeran Samudro pada tanggal 14 November 2018
Wawancara dengan pengunjung di Pelataran Makam Pangeran Samudro, 12 November 2018.
Wawancara dengan WT, pemilik warung makan di warung komplek makam Pangeran Samudro pada tanggal 14 November 2018.

Published

2019-06-30

Issue

Section

Articles

How to Cite

Rekonstruksi Kisah Pangeran Samudro: di Tengah Mitos Ritual Seks Gunung Kemukus, Sumber Lawang, Sragen. (2019). Jurnal Lektur Keagamaan, 17(1), 77-98. https://doi.org/10.31291/jlka.v17i1.632